Judul buku: Garis Waktu
Penulis: Fiersa Besari
Penyunting: Juliagar R. N.
Penerbit: mediakita
Cetakan I: 2016
Bahasa: Indonesia
ISBN: 978-979-794-525-1
Tebal: 212 halaman
Rating: 3/5
Sinopsis
Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan
ada saatnya kau bertemu dengan satu orang yang mengubah hidupmu untuk
selamanya. Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau
terluka dan kehilangan pegangan. Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju,
akan ada saatnya kau ingin melompat mundur pada titik-titik kenangan tertentu. Maka,
ikhlaskan saja kalau begitu. Karena sesungguhnya, yang lebih menyakitkan dari
melepaskan sesuatu adalah berpegangan pada sesuatu yang menyakitimu secara
perlahan.
Review
Garis Waktu
merupakan buku kedua karya Fiersa
Besari yang merangkum beberapa tulisannya pada kurun waktu 2012-2016.
Fiersa Besari adalah penulis yang juga aktif sebagai pemain musik, penangkap
gerak, dan pegiat alam. Sebelumnya ia pernah merilis album musik berjudul Konspirasi
Alam Semesta pada tahun 2015, yang kemudian dilahirkan kembali dalam
bentuk buku pada April 2017 oleh mediakita. Saya mengenal Fiersa lewat
tulisan-tulisannya di Twitter beberapa tahun lalu. Tulisan-tulisannya menarik,
menyiratkan banyak pesan, dan kadang mewakili apa yang sedang saya alami pun
rasakan. Ini kali kedua saya membaca karyanya. Setelah buku ini tidak tersentuh
selama satu tahun dan mau tidak mau saya baca ulang, akhirnya empat hari lalu
selesai juga. 😀
Buku yang berisi rentetan cerita dengan format
kumpulan surat yang terangkai jadi satu ini secara garis besar memuat curahan
tentang perjumpaan, kasmaran, patah hati, keikhlasan dalam melepaskan, dan
berakhir dengan kenangan. Adalah Aku yang menguraikan perasaan-perasaannya pada
Kau dalam bentuk surat dari April tahun pertama sampai Maret tahun kelima. Dari
awal berjumpa dan saling tatap hingga tak lagi saling menetapkan. Surat-surat
pendek dalam Garis Waktu
berjumlah 49 surat yang berisikan segala pertanyaan, kegelisahan, kemarahan,
dan perasaan Aku pada seorang perempuan yang telah membuatnya jatuh hati sekaligus
patah hati. Dua di antaranya semacam prolog dan epilog.
Dari ke-49 surat tersebut ada dua yang saya suka;
surat pada bulan Juni tahun pertama judul kedua yang mengajak (dan mungkin juga
menyadarkan) pembaca untuk menjadi diri sendiri dan surat pada bulan September
tahun kedua judul pertama yang memuat tentang cinta dan komitmen. Secara
keseluruhan ada tiga bab besar dalam Garis Waktu, yaitu pertemuan
dengan seseorang yang mengubah hidup, terluka dan kehilangan, serta keinginan
untuk kembali ke kenangan tertentu.
Pembaca tidak hanya akan menemukan pesan-pesan
tentang percintaan yang tersirat dalam Garis Waktu, tetapi juga pesan untuk
menjadi diri sendiri, dalam menjalin sebuah hubungan dengan seseorang, untuk
menikmati hidup dan meluangkan waktu melakukan hal yang kita suka karena hidup
cuma satu kali, tidak tenggelam dalam kepopuleran, tidak membalas kebencian dengan
kebencian, tidak larut dalam dendam, dan lain-lain. Kadang saya merasa
tersentil dengan beberapa kalimat yang ditulisnya. Bukan sentilan yang
menyebalkan, tetapi sentilan yang mengingatkan.
Garis Waktu
membawa kita menyelami proses sekaligus masa-masa di mana Aku dan Kau menjadi
kita. Juga Aku dan Kau yang akhirnya memilih haluan berbeda. Pembaca diajak
untuk menyaksikan Aku yang sedang bermonolog. Melihat Aku yang menanti-nanti
pesan dari Kau, harapannya telah pupus, penuh kegalauan, penuh dengan kekaguman
pada Kau, masih mengagumi meski tak bisa memiliki, memendam perasaannya,
menjadi tempat pelarian, berterus terang soal perasaannya, mengalami sebuah
pengkhianatan, dan lain-lain—yang kalau saya sebutkan semuanya nanti
kepanjangan, kalian tidak penasaran lagi, dan berujung spoiler.
Fiersa amat lihai mengaduk-aduk perasaan pembaca
lewat kalimat-kalimat yang diuntainya. Seolah ia begitu mengerti dan memahami
pembaca. Kalimat-kalimat yang ditulisnya terasa hidup dan sangat mewakili
seseorang yang, baik sedang jatuh cinta, galau, patah hati, tersakiti karena
dikhianati, maupun mampu bangkit dari hal-hal pahit yang menimpanya. Meski kita
tahu hal-hal yang dialami Aku pasti pernah pula dialami orang lain, cara setiap
orang untuk bangkit dan menyembuhkan lukanya tidaklah sama. Lewat Garis Waktu pembaca bisa
mengambil pelajaran dari pengalaman dan apa yang disampaikan Aku.
Bila dibandingkan dengan Konspirasi
Alam Semesta, Garis Waktu bisa dibilang memiliki konsep yang berbeda
dan alurnya pun hanya satu alur; alur maju. Kelemahannya, alur maju seperti ini
untuk sebagian pembaca mungkin membosankan. Saya sendiri pun merasa buku ini
kurang gereget dan kurang menarik karena alurnya yang terkesan datar. Sekali
waktu membuat rasa bosan datang. Bisa jadi juga karena saya sudah pernah
membaca tulisan-tulisannya, entah itu di Twitter, Instagram, ataupun LINE-nya.
Menariknya, dalam setiap surat ada foto-foto yang menggambarkan curahan si Aku
yang membuat pembaca bisa sekaligus memainkan imajinasinya sendiri.
Membaca Garis Waktu
bisa membuat pembaca bernostalgia ke masa lalu dan terbawa perasaan, atau
bahkan mungkin ke masa sekarang bagi yang sedang jatuh cinta, sedang
mengharapkan si dia menaruh perasaan yang sama, sedang terluka karena ditolak
atau dikhianati, atau sedang memendam perasaan pada seseorang. Tampaknya
sebelum membaca Garis Waktu pembaca mesti menegarkan diri dulu kalau tidak
ingin lama-lama tenggelam dalam masa lalu. Bukan apa-apa, hanya takutnya nanti
susah balik. *egimana* Tanpa membaca Garis Waktu saja kadang-kadang kita bisa
tiba-tiba teringat dan hanyut dalam masa lalu. Ya, ‘kan? Lebih-lebih kalau
sambil baca buku ini dan belum move on. Bagi kamu yang sedang ingin membaca
bacaan yang ringan atau sedang butuh bacaan yang menguatkan, Garis Waktu bisa
jadi pilihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar